Cinematography | Conceptual Tools

The power of visual language give additional value to the script.

 

Conceptual tools of cinematography berfungsi sebagai perangkat untuk membantu mengerjakan konsep visual yang bisa diturunkan ke elemen-elemen yang lebih teknis agar dapat mewujudkan visi visual.[1]

1. Frame

Framing adalah bagaimana objek ditata sedemikian rupa sehingga muncul dalam frame. Artinya ada elemen yang tidak boleh masuk frame, sebagai contoh yaitu boom mic. Tidak seperti kamera lomo (kamera yang bisa berputar 360 derajat), seorang sinematografer harus bisa memilih bagian mana yang mau diambil dan seperti apa shot-nya.

In/out frame = on/off screen

Komposisi: apa yang tampak dalam frame.

Frame: batas (membatasi apa yang tampak dalam frame).

To frame: untuk membingkai/membatasi.

Realitas film: segala sesuatu yang tampak di dalam frame dan dapat dinilai/diinterpretasikan oleh penonton.

Rumusan Pertanyaan Ketika Menentukan Framing:

  • What’s in the frame?
  • What’s not in the frame?

“Adegan adalah interpretasi visual dari naskah. Visual tidak harus sama dengan naskah. Kalau sama, shoot saja naskahnya, suruh audiens baca sendiri.” – Bayu Prihantoro Filemon.

Oleh karena itu, tugas seorang sinematografer adalah untuk menerjemahkan informasi dari naskah menjadi visual dengan lebih selektif menyeleksi apa yang ditampilkan. Bahasa visual belum tentu memiliki SPOK seperti kalimat, tetapi bisa memiliki makna. Framing artinya menyeleksi apa yang akan masuk ke dalam frame dan apa yang tidak boleh ada dalam frame. Shot juga bisa menjadi lebih kreatif dengan menanyakan apa yang bisa dibuang. Misalnya dengan memanfaatkan elemen suara yang bisa menembus ruang.

Frame memiliki beberapa aspek rasio:

  • 1:33:1
  • 1:78:1 (16:9)
  • 1:85:1
  • 2:35:1

 (Sumber: teknikpenyiaran.wordpress.com)

Apa yang tampak di dalam frame belum tentu diinterpretasi penonton sebatas itu saja karena penonton mempunyai imajinasi terhadap apa yang ada di luar frame. Semakin lebar kanvas, akan semakin banyak biaya yang dibutuhkan karena cakupan dalam frame menjadi lebih luas dan lebih banyak hal yang akan masuk ke dalam frame.

  • Panjang/luas: butuh lebih banyak orang/biaya
  • Sempit: butuh lebih sedikit orang/biaya.

Aspek rasio bukan menjadi acuan untuk nilai sinematik. Aspek rasio lebih dari sebatas selera pasar/target. Aspek rasio adalah bahasa film. Menentukan kanvas apa yang cocok sangat bergantung dengan kebutuhan masing-masing cerita. Memilih ukuran frame/aspek rasio dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:

a. Story (70-80%)

Frame harus melayani story karena story adalah basis berpikir untuk menentukan visual (apa yang ada di dalam dan di luar frame).

Hal yang dianalisis dari story:

  • Mau penonton bereaksi terhadap apa?
  • Arahnya kemana?
  • Adegannya seperti apa?

Composition: bagaimana menata objek dalam frame agar menghasilkan gambar yang harmonis.

Visual Rhythm: pola/ritme dari objek yang ditata dalam komposisi (repetisi/berulang).

Perspective: point of view/sudut pandang/dilihat dari mata siapa? (perspektif belum tentu/tidak harus berupa orang).

  • Objektif: kejadian tampak biasa aja, tanpa pemilik sudut pandang yang jelas.
  • Subjektif: mewakili mata seseorang.

 

2. Camera Movement

Fungsi:

  • Menambahkan layer makna dan perasaan/emosi pada visual.
  • Memberi sinyal pada audiens untuk terlibat pada suatu adegan/karakter (involvement).
  • Memberi sensasi mengintip ke suatu adegan/karakter (voyeurism).

Contoh layer emosi: perasaan bahagia, marah, sedih, terancam, menang, ditinggalkan, dll.

Setiap pergerakan kamera harus didasari motivasi (kecuali stylistic*).

*Stylistic: ketika movement digunakan sebagai pilihan stylistic 1 film atau 1 sutradara.

Contoh: Quentin Tarantino (zoom), Wes Anderson (pan).

Follow: ketika objek bergerak kamera ikut bergerak, menunjukan peristiwa secara objektif agar adegan tidak terputus.

2 Sifat Movement

  • Fungsional: sesuai dengan fungsinya.
  • Subjektif: terkait dengan kebutuhan internal karakter.

2 Jenis Movement

  • Steady: stabil, tenang, hati-hati, formal, dsb.
  • Unsteady: cemas, ragu, bingung, takut, dsb.

Movement:

  • Hanheld
  • Pan
  • Tilt
  • Track
  • Crab
  • Crane

 

3. Light & Color

Sama seperti fotografi, cahaya adalah elemen fundamental dalam film. Kamera bisa jalan karena terdapat cahaya, sehingga cahaya pada masa awal era film hanya sebatas tools agar objek yang ada di depan kamera bisa terlihat. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, lighting juga dapat menambah layer emosional dari suatu adegan.

  • Dulu: fungsi lighting cukup untuk bisa dilihat.
  • Sekarang: fungsi lighting untuk menambah layer emosional secara visual.

3 Aspek Cahaya:

  • H: Hue (warna).
  • S: Saturation (kepekatan).
  • L: Luminance (terang-gelap/spektrum warna).

Intensitas cahaya (brightness) seperti overexposed/underexposed dapat merubah warna dan warna dapat mempengaruhi mood. Mood didukung oleh perasaan tokoh dan suasana. Berpikir hanya tentang luminance saja akan membuat visual menjadi flat, kecuali terdapat kontras atau separasi layer. Dengan HSL, maka tidak akan kembali ke era zaman dulu di mana hanya ada luminance.

Contoh: awalnya suatu film mempunyai style desaturated dan greyish, lalu menjadi saturated dan warm.

Color System:

  • RGB (Additive Color): sistem warna yang digunakan untuk sistem pencahayaan yang berbasis pada sumber cahaya (layar digital).
    • Menggunakan basis warna primer yaitu Red, Green, Blue.
    • Menambah (+) warna sebelumnya sehingga jika dicampur akan menghasilkan warna putih.

Contoh: layar kamera, layar computer, peralatan lighting, dll.

  • CMYK (Subtractive Color): sistem warna yang digunakan untuk keperluan media fisik/cetak. kalau ditotal jadi hitam, - warna sebelumnya, digunakan untuk benda fisik/cetak, contoh: printer.
    • Menggunakan basis warna primer Cyan, Magenta, Yellow, dan K.
    • Mengurangi/mengeliminasi (-) warna sembelumnya, sehingga jika dicampur akan menghasilkan warna hitam.

Contoh: mesin printer, penngecatan (paint), pewarnaan kain (dye), dll.

 (Sumber: beasiswadesain.wordpress.com) 

Kombinasi Warna:

  • Complementary: memiliki dua spectrum warna yang berbeda, saling melengkapi, kontras, dan beradu, tidak akan blend, tetapi harmonis, warna aman, tidak pernah salah, seperti gelap vs terang, contoh: orange-teal, merah-hijau, kuning-ungu.
  • Analogous: terdiri dari 3 spektrum warna yang berdekatan satu sama lain/sebelahan, harmonis, blend/menyampur dengan baik, contoh: hijau-kuning-merah.

*Jojo Rabbit -> kalau props/artistik sudah sesuai, maka DOP tidak usah menyesuaikan lagi, hanya tinggak menggunakan warna lighting yang natural.

(Sumber: imperfectpost.com)

  • Triadic: 3 spektrum warna yang jaraknya relative sama, membentuk segitiga sama kaki, menghasilkan warna yang kontras, tetapi saling melengkapi, contoh: merah-kuning-biru.

*Amelie -> film yang pertama kali menggunakan proses digital intermediate (koreksi warna digital setelah seluloid di-scan). 

(Sumber: pinterest.com)

  • Split-complementary: terdiri dari 3 spektrum warna, warnanya akan stand-out/mencolok karena menabrak, sangat jarang digunakan, tetapi bukan tidak ada.
  • Monotone: 1 warna.
  • Duatone: 2 warna. 

 (Sumber: apiumhub.com)

Purkinjee Effect/Purkinjee Shift (Dark Adaptation)

Moonlight = bluish terjadi karena fisiologis mata manusia yang tidak bisa menangkap cahaya.

  • Pagi: spektrum warna yang paling luas, mata manusia menangkap warna hangat.
  • Malam: spektrum warna lebih dominan ke warna biru dan hijau.

“Purkinjee Effect is the tendency for the peak luminance sensitivity of the human eye to shift toward the blue end of the color spectrum at low illumination levels. The effect is named after the Czech anatomist Jan Evangelista Purkyně.” –Spike Morris.

 

 (Sumber: poodle999.blogspot.com)

 

4. Lens

Optik lensa mempunyai kemampuan untuk mengubah persepsi atas peristiwa/adegan di depan kamera, karena apa yang ditangkap oleh lensa belum tentu sama dengan aslinya / mata manusia.

  • 40-50mm: lensa kamera = lensa mata
  • 32 & 35: antara wide & normal.
  • 60/65/75: antara tele & normal. 
(Sumber: gavtrain.com)

Focal Length: jarak antara titik sentral lensa yang masuk ke sensor sampai ke belakang kamera. 

Setiap focal length lensa memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam memproduksi peristiwa / adegan tersebut menjadi gambar film.

a. Short focal length (wide): memperluas dan mendistorsi space.

  • Persepsi kedalaman ruang/spasial yang berlebihan.
  • Memperpendek jarak antar objek yang terletak di foreground, middleground, dan background.
  • Objek di foreground tampak jauh lebih besar dari aslinya dan objek di background tampak lebih kecil dari aslinya.

Dampak Psikologis:

  • Sense of presence: sensasi visual di mana penonton merasa berada seolah di ruang dan waktu di mana adegan berlangsung

b. Long focal length (tele): mengkompresi space.

  • Mengkompresi kedalaman ruang/spasial menjadi lebih sempit.
  • Memperpendek jarak antar objek di foreground, middleground, dan background.
  • Objek yang berada di background tampak lebih besar atau sama besar dengan objek yang berada di foreground.
  • Membuat shot menjadi lebih dramatis.

Dampak Psikologis:

  • Private/Intimate Distance (personal): Objek menjadi seolah lebih dekat dengan penonton sekaligus mengisolasi dari dunia di sekitar karakter.
  • Voyeurism: objek tersebut seolah diamati/diintip oleh penonton dari kejauhan, karena jarak antara lensa dan objek relative jauh.
  • Claustrophobic: karakter terisolasi.

*tapi ultrawide seperti CCTV juga bisa memberikan kesan voyeurism (14-15mm).

c. Medium Focal Length (30-50mm): normal space.

  • Ketika ingin menampilkan adegan/realitas di depan mata secara apa adanya (netral).

Anamorphic: dapat menjadi solusi ketika menginginkan normal space, tetapi juga ingin melihat lebih luas (ekspansi) tanpa distorsi (stretch) karena anamorphic menambah space di kanan dan kiri frame. (horizontal: 25mm, vertikal: 50 mm).

 

5. Visual Texture

Tekstur visual mencerminkan kualitas permukaan, yaitu look dan feel dari material yang terlihat dalam sebuah shot. Tekstur visual juga bisa dihasilkan dari beberapa manipulasi visual, misalnya dengan lensa khusus atau filter khusus.

Visual Manipulation: upaya untuk mengubah persepsi penonton terhadap realitas di film, berdasarkan setting waktu/zaman, konteks, karakteristik, serta genre.

  • Contrast adjustment.
  • Desaturation.
  • Special lens/filter.
  • Fog and smokes effect.
  • Unusual film stocks.
  • Digital image manipulation.

Contoh: modern, vivid, sharp, gentle, dreamy, old, low resolution, harsh, soft, coating lensa, kontras, lighting (soft light, hard light)

Her (2013): futuristic.

(Sumber: idntimes.com)

Dreams (1990): dreamy.

(Sumber: screenmusings.org)

 

6. Establishing

Establishing adalah kemampuan kamera menunjukan (reveal) / menyembunyikan (conceal) konten informasi visual yang dapat dicapai melalui:

  • Pemilihan lensa
  • Tata cahaya
  • Framing

 

7. Point of View

Kemampuan kamera mewakili sudut pandang tokoh/karakter tertentu dalam film atau bahkan sudut pandang penonton.

Contoh: The Revenant (2015) -> opening scene dalam film tersebut menunjukkan sudut pandang objektif dengan yang mengambang dan mengikuti aliran air sungai, lalu berganti menjadi sudut pandang subjektif dari seorang pemburu yang sedang menelusuri hutan, lalu berganti kembali menjadi sudut pandang objektif.

(Sumber: youtube.com)

[1] Brown, B. (2012). Cinematography, Theory and Practice (2nd Edition). Focal Press.

Comments

Popular posts from this blog

Thoughts on Film

Maternal Superego in Alfred Hitchcock's Psycho (1960)

Offline Editing | Codec and Shooting Ratio